PROSPEK PERANAN PERS DALAM PERKEMBANGAN DEMOKRASI∗
Oleh Ashadi Siregar
( 1)
Peranan pers dapat dirumuskan melalui berbagai fungsi, yakni fungsi politis,
ekonomis, dan sosiologis. Dalam fungsi politis-nya, pers digunakan dan berperan untuk
tujuan-tujuan politik berbagai kekuatan politik dalam negara. Sementara dalam fungsi
ekonomi, pers menjadi institusi pengembangan modal, baik secara internal (modal
perusahaan pers sendiri) dan eksternal (modal kekuatan industri). Fungsi sosiologis
berlangsung dalam interaksi pers dengan khalayaknya.
Selain itu institusi pers dapat pula dilihat sebagai salah satu di antara sekian banyak
kegiatan berpola dalam masyarakat, sebagai sarana masyarakat dalam menggunakan
haknya untuk terlibat dalam forum intelektual. Hak masyarakat ini biasa disebut sebagai
hak untuk berpendapat. Dalam istilah yang lain, dapat dilihat sebagai hak untuk
menyampaikan informasi di satu pihak, dan memperoleh informasi di pihak lain. Dengan
kata lain, kebebasan pers dapat diartikan sebagai ada jaminan terhadap hak warga
masyarakat untuk menyampaikan informasi dan memperoleh informasi, sebagai dua sisi
dari mata koin sifat institusional pers.
(2)
Sumber hukum primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri RI, kendati
umumnya menggunakan pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara eksplisit
memasukkan hak warga negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi.
Dasar hukum dari Undang-Undang Dasar 1945 yang digunakan untuk undangundang
tentang Pers, dapat dilihat dari konsiderans Undang-undang No. 21 Tahun 1982
tentang Perubahan Atas Undang-undang No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1967.
Disebutkan, mengingat: "Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 33 Undangundang
Dasar 1945".
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pembentukan
dan pengesyahan suatu undang-undang. "Presiden Republik
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat"
(Pasal 5 ayat 1), dan "Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat" (Pasal 20 ayat 1).
Sementara Pasal 33 UUD 1945 berisi rumusan sebagai berikut:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasasi olehg negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ini menjadi dasar dari setiap usaha ekonomi. Dengan demikian institusi
pers dilihat dalam fungsi ekonomisnya. Ketentuan ini dengan sendirinya menjadi acuan
bagi ketentuan yang bersifat sebagai Code of Enterprise. Tetapi sifat organisasi usaha
∗ Disampaikan pada SEMINAR PERANAN PERS DALAM PENGEMBANGAN DEMOKRASI DI
2
berdasarkan azas ekonomi koperasi, tidak biasa dijadikan dasar dalam membicarakan
dimensi hukum dari pers.
Di antara ketentuan yang sering dikutip dari UUD 1945, adalah pasal 28, untuk
dilihat dan diinterpretasikan sebagai jaminan bagi kebebasan pers. Tetapi perlu diingat
bahwa, ketentuan perundangan-undangan ini disatu-napaskan dengan kemerdekaan
berserikat dan berkumpul. Teks lengkapnya sebagai berikut:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang.
Sementara penjelasan ketentuan ini (di dalam penjelasan pa-sal 28, 29, ayat 1, 34):
Pasal ini mengenai kedudukan penduduk.
Pasal-pasal ini, baik yang hanya mengenai warga negara maupun mengenai seluruh
penduduk memuat hasrat bangsa
demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.
memberi jaminan, sebagaimana "hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan (lihat: pasal 27 ayat 1); ataupun "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaannya itu" (lihat: pasal 29 ayat 2); dan lainnya. Pasal 28 hanya menyebutkan
"...ditetapkan dengan undang-undang".
Dengan demikian ketentuan pasal 28 UUD 1945 belum memiliki makna yang
mengikat kecuali sudah ada undang-undang yang mengatur kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Begitu
pula penjelasan yang menyebutkan "membangunkan negara yang bersifat demokratis" dan
"yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan", karena berada
dalam himpunan penjelasan yang mencakup pula untuk pasal 34 ("Fakir miskin dan anakanak
yang terlantar dipelihara oleh negara"), perlu dicermati lebih jauh.
(3)
Rumusan formal dalam konstitusi ini bersifat terbuka, karenanya perlu dilanjutkan
dengan inventarisasi ketentuan perundang-undangan yang mengatur kegiatan masyarakat
untuk berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran. Jika diperhatikan rumusan
undang-undang dasar yang menyatukan ketentuan tentang "kemerdekaan berkumpul dan
berserikat" dan "mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya", maka
kaidah yang mendasar adalah bagaimana ketentuan tentang "kemerdekaan" itu terutama
dikaitan dengan penjelasan pasal ini, yaitu "membangunkan negara yang bersifat
demokratis".
Selain itu masih perlu diverifikasi, apakah kemerdekaan "mengeluarkan pikiran dan
tulisan dan sebagainya" itu dipertalikan dengan "berserikat dan berkumpul", ataukah
sebagai jaminan bagi masyarakat untuk mengadakan dan menggunakan media komunikasi.
Apakah "berserikat dan berkumpul" itu dimaksudkan untuk upaya bersama sekelompok
orang mengorganisasikan dirinya untuk menyatakan pikiran dan seterusnya itu.
"Berkumpul dan berserikat" dan "menyatakan pikiran" dapat dilihat sebagai
kegiatan yang terpisah, yaitu adanya ketentuan hukum bagi kegiatan "berkumpul dan
berserikat" dan ketentuan lainnya untuk "menyatakan pikiran". Agaknya kerangka
pemikiran semacam ini menjadi dasar dari berbagai undang-undang. Itulah sebab adanya
undang-undang partai politik, organisasi masyarakat, dan kegiatan lainnya warga
3
masyarakat untuk mengadakan forum. Sementara di sisi lain, ada undang-undang yang
mengatur media untuk menyampaikan informasi, mulai dari undang-undang pers, film,
(kelak) media siaran dan segala bentuk lainnya dalam penyampaian dan pengambilan
informasi.
Dari sini terlihat bahwa landasan konstitusional bagi pers pada dasarnya tidak
berdiri sendiri. Tujuan setiap ketentuan yang disebutkan dalam penjelasan UUD 1945
melekat kepada seluruh bangsa: "hasrat bangsa
yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan". Berbagai institusi lainnya dalam masyarakat juga memerlukan kejelasan
keberadaannya, sejauh mana sudah dijamin oleh undang-undangnya. Berbagai undangundang,
seperti kepartaian, organisasi masyarakat dan lainnya, perlu dilihat dalam kaitan
dengan membangunkan negara bersifat demokratis dan seterusnya itu.
(4)
Keberadaan pers di
tuntutan normatif pihak lain. Berkaitan dengan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada
dasarnya bersifat politis, yaitu birokrasi kekuasaan negara yang menggariskan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.
Tuntutan normatif ini terjadi dalam sistem berdasarkan korporatisme negara yang
menjadikan setiap institusi kemasyarakatan tidak memiliki otonomi. Institusi pers,
sebagaimana institusi sosial lainnya seperti asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga
keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan
fungsi imperatif yang berasal dari birokrasi negara.
Dalam negara korporatis, keberhasilan pemerintah dilihat seberapa luas institusi
sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi
kemsyarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institusi ekonomi, terutama dalam era
global sekarang. Institusi ekonomi yang memiliki jari-ngan global pada dasarnya tidak
terikat kepada satu negara, karenanya kekuasaan birokrasi negara tertentu, sulit untuk
mengkooptasinya.
Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi politik dan ekonomi. Sebagai
institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara politis. Untuk
mewujudkan fungsi dan peranannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari
ijin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen.
Sebagai institusi ekonomi, pers dapat menjalankan fungsi dan peranannya
sepenuhnya menggunakan norma ekonomi. Dengan formula industri, yaitu informasi
sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis
dari konsumen.
dari azas komodifikasi pers.
Di antara kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula
institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagaimana institusi budaya lainnya,
seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat,
membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat
moral, sangat berbeda kekuatannya dibanding dengan fungsi imperatif politis dan
ekonomis yang bersifat struktural. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak
memenuhi tuntutan moral, berbeda dengan tekanan imperatif politik (ijin terbit dicabut,
wartawan dikenai haatzaai artikelen), atau tekanan ekonomi (koran tidak laku).
Demikianlah, dalam melihat peranan pers Pancasiladalam pengembangan
demokrasi agaknya lebih tepat menumpukan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang
melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh
4
institusi pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bisa dilihat dari inter-relasi
pers dengan institusi lain, sebab format institusi pers pada dasarnya dibangun oleh faktorfaktor
imperatif dari institusi lain.
(5)
Tuntutan terhadap fungsi pers untuk mengubah dan mendidik masyarakat ini pada
dasarnya bertolak dari asumsi tentang daya pengaruh informasi media. Kepercayaan ini
sekaligus menjadi ancaman bagi media pers, menyebabkan setiap penguasa negara berusaha
mengendalikan media pers. Ini dapat dilihat pada masa lalu di
abad 20. Setelah redanya penentangan fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawan
(raja-raja di luar Jawa, Pangeran-pangeran di Jawa) dan petani, pemerintah Hindia Belanda
menghadapi penentangan secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh
kalangan pribumi terdidik secara modern di Hindia Belanda.
Karenanya pada abad 20, gerakan penentangan umumnya dilakukan oleh kalangan
intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat
modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial berbeda pula formatnya,
tidak lagi bertumpu kepada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil.
Disini sangat berperan polisi yang menjalankan fungsi intel politik.
Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjalankan
ketentuan-ketentuan hukum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hukum Belanda
sendiri tidak dapat menerimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jenderal untuk
menggunakan hak eksorbitan (exorbitante recht), dan pelarangan terbit koran atau yang
populer disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Kedua kewenangan yang bersifat
preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan
daerah-daerah lain, serta koran-koran yang berhenti terbit.
Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan
yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama pasal-pasal yang biasa disebut haatzaai
artikelen yang disebut sebagai pasal-pasal "karet", karena sangat longgar dalam penginterpretasiannya.
Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian
materiel atas perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan
yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara.
Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus-menerus berhadapan dengan
upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda.
Penerapan hukum ini terhadap penyampaian informasi, dapat dijadikan indikator
sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat
penerapan hukum ini terhadap wartawan/pers khususnya dan intelektual umumnya, dapat
dilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat,
misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda,
masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang.
Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara terhadap wartawan dan
intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual di
Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi
dibandingkan dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayangkan bahwa pers
Pancasila itu semakin menemukan formatnya, yaitu ruang bagi kebebasan dan otonomi
yang lebih pasti dan terjamin bagi masyarakat dalam menyatakan pendapat.
(6)
Institusi pers sebagai wahana bagi masyarakat dalam menyampaikan dan
memperoleh informasi sekarang perlu dilihat sebagai bagian dari hukum penawaran dan
permintaan, bukan sebagai praksis dari suatu ideologi. Sebagai institusi yang berada di dua
5
ranah, ranah ekonomi dan ranah politik, pers harus hadir berlandasrkan hukum-hukum
ekonomi. Sementara dalam ranah politik, bukan dari peran politik yang dapat
dijalankannya, tetapi dalam posisinya menghadapi birokrasi negara.
Kendati menjalankan hukum-hukum ekonomi dalam kehadirannya, kelangsungan
hidupnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh masrakat konsumennya. Keberadaan media
pers di
melalui lisensi terbit yang dikeluarkan birokrasi negara untuk terbitnya pers. Lisensi ini
dapat bernama ijin usaha atau ijin terbit. Prinsipnya adalah hak masyarakat untuk
menerbitkan pers ditentukan oleh pejabat birokrasi atau tata usaha negara.
Dalam menyikapi kedua macam lisensi ini dapat dilihat perbedaan antara Surat Ijin
Usaha Pnerbitan Pers (SIUPP) dengan Surat Ijin Terbit (SIT). SIT sepenuhnya bersifat
politis, sebagai perangkat pengendalian kekuasaan negara terhadap media pers, melalui
muatan/isi jurnalistik dari suatu media pers. Belum pernah pencabutan SIT diberlakukan
berdasarkan pelanggaran dari muatan iklan komersial (commercial ads), atau pelanggaraan
keperusahaan. Dari sejarahnya dapat disimpulkan bahwa ukuran yang digunakan adalah
penilaian terhadap isi keredaksian berupa karya jurnalistik.
Sedangkan SIUPP bertolak dari ketentuan yang mengatur perusahaan. Ciri
terpenting dalam persyaratan untuk mendapatkan SIUPP dititik-beratkan kepada aspek
perusahaan, termasuk yang paling menentukan adalah permodalan. Tetapi dalam
prakteknya selama diberlakukan ketentuan SIUPP, penilaian terhadap pers tidak terhadap
aspek perusahaan. Belum pernah ada pencabutan/pembatalan SIUPP akibat pelanggaraan
yang bersifat keperusahaan. Pembatalan SIUPP selama ini bertolak dari isi pers berupa
karya jurnalistik. Dengan demikian dalam prakteknya tidak ada perbedaan antara SIT
dengan SIUPP.
Penerapan SIUPP selama ini dapat disebutkan sebagai manipulasi undang-undang.
Di satu sisi undang-undang pers (UU no 21 tahun 1982) menggariskan pengaturan
perusahaan pers, begitu pula Peraturan Menteri Penerangan (no 01/PER/MENPEN/1984).
Pembatalan SIUPP yang dilakukan bertolak dari muatan pers terdapat dalam peraturan
menteri dimaksud, dengan ketentuan yang dapat diinterpretasikan dengan sangat longgar
karena menyebutkan: ...tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang
bebas dan bertanggungjawab (pasal 33 ayat h.). Rumusan semacam ini manakala dijadikan
kriteria delik pers, sangat besar kemungkinan untuk bersifat subyektif dan sewenangwenang.
Suatu delik harus bersifat empiris, dan dapat diuji melalui indikator yang diakui
validitasnya secara luas dan terbuka.
Sampai saat ini perangkat SIUPP dijadikan instrumen bagi aparat kekuasaan negara
di Departemen Penerangan untuk menguasai penerbitan pers swasta. Dalih ini sering
disebut sebagai pembinaan oleh pemerintah terhadap pers. Untuk kita perlu melihat lebih
dulu, bagaimana pemerintah mengidealisasikan fungsi dan peranan pers. Standar ideal dari
fungsi dan peranan pers tentunya tidak berdasarkan ucapan, tetapi dari kenyataan empiris
keberadaan media pers.
0 comments
Posting Komentar