Rabu, 28 Januari 2009

gambar

.
0 komentar

saya setuju dengan gambar ini karena dalam pernyataannya, Hon. Sandra Cioffi mengemukakan bahwa sudah saatnya melakukan aktivitas konkrit untuk memajukan kerjasama kedua negara melalui Asosiasi ini, sehingga diharapkan hubungan Italia-Indonesia akan semakin meningkat melalui kunjungan antara pejabat pemerintah, anggota Parlemen, wisatawan kedua negara.

readmore »»

peranan pers mayarakat di Indonesia

.
0 komentar

PROSPEK PERANAN PERS DALAM PERKEMBANGAN DEMOKRASI

Oleh Ashadi Siregar

( 1)

Peranan pers dapat dirumuskan melalui berbagai fungsi, yakni fungsi politis,

ekonomis, dan sosiologis. Dalam fungsi politis-nya, pers digunakan dan berperan untuk

tujuan-tujuan politik berbagai kekuatan politik dalam negara. Sementara dalam fungsi

ekonomi, pers menjadi institusi pengembangan modal, baik secara internal (modal

perusahaan pers sendiri) dan eksternal (modal kekuatan industri). Fungsi sosiologis

berlangsung dalam interaksi pers dengan khalayaknya.

Selain itu institusi pers dapat pula dilihat sebagai salah satu di antara sekian banyak

kegiatan berpola dalam masyarakat, sebagai sarana masyarakat dalam menggunakan

haknya untuk terlibat dalam forum intelektual. Hak masyarakat ini biasa disebut sebagai

hak untuk berpendapat. Dalam istilah yang lain, dapat dilihat sebagai hak untuk

menyampaikan informasi di satu pihak, dan memperoleh informasi di pihak lain. Dengan

kata lain, kebebasan pers dapat diartikan sebagai ada jaminan terhadap hak warga

masyarakat untuk menyampaikan informasi dan memperoleh informasi, sebagai dua sisi

dari mata koin sifat institusional pers.

(2)

Sumber hukum primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri RI, kendati

umumnya menggunakan pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara eksplisit

memasukkan hak warga negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi.

Dasar hukum dari Undang-Undang Dasar 1945 yang digunakan untuk undangundang

tentang Pers, dapat dilihat dari konsiderans Undang-undang No. 21 Tahun 1982

tentang Perubahan Atas Undang-undang No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1967.

Disebutkan, mengingat: "Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 33 Undangundang

Dasar 1945".

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pembentukan

dan pengesyahan suatu undang-undang. "Presiden Republik Indonesia memegang

kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat"

(Pasal 5 ayat 1), dan "Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat" (Pasal 20 ayat 1).

Sementara Pasal 33 UUD 1945 berisi rumusan sebagai berikut:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasasi olehg negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 33 ini menjadi dasar dari setiap usaha ekonomi. Dengan demikian institusi

pers dilihat dalam fungsi ekonomisnya. Ketentuan ini dengan sendirinya menjadi acuan

bagi ketentuan yang bersifat sebagai Code of Enterprise. Tetapi sifat organisasi usaha

Disampaikan pada SEMINAR PERANAN PERS DALAM PENGEMBANGAN DEMOKRASI DI

INDONESIA, Universitas Sebelas Maret Surakarta – Suratkabar Bernas – Suratkabar The Jakarta Post,

Surakarta 6 Februari 1996

2

berdasarkan azas ekonomi koperasi, tidak biasa dijadikan dasar dalam membicarakan

dimensi hukum dari pers.

Di antara ketentuan yang sering dikutip dari UUD 1945, adalah pasal 28, untuk

dilihat dan diinterpretasikan sebagai jaminan bagi kebebasan pers. Tetapi perlu diingat

bahwa, ketentuan perundangan-undangan ini disatu-napaskan dengan kemerdekaan

berserikat dan berkumpul. Teks lengkapnya sebagai berikut:

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan

tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang.

Sementara penjelasan ketentuan ini (di dalam penjelasan pa-sal 28, 29, ayat 1, 34):

Pasal ini mengenai kedudukan penduduk.

Pasal-pasal ini, baik yang hanya mengenai warga negara maupun mengenai seluruh

penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat

demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.

Ada hal yang cukup penting, tetapi biasanya terlupakan, bahwa pasal 28 tidaklah

memberi jaminan, sebagaimana "hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan (lihat: pasal 27 ayat 1); ataupun "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama

dan kepercayaannya itu" (lihat: pasal 29 ayat 2); dan lainnya. Pasal 28 hanya menyebutkan

"...ditetapkan dengan undang-undang".

Dengan demikian ketentuan pasal 28 UUD 1945 belum memiliki makna yang

mengikat kecuali sudah ada undang-undang yang mengatur kemerdekaan berserikat dan

berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Begitu

pula penjelasan yang menyebutkan "membangunkan negara yang bersifat demokratis" dan

"yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan", karena berada

dalam himpunan penjelasan yang mencakup pula untuk pasal 34 ("Fakir miskin dan anakanak

yang terlantar dipelihara oleh negara"), perlu dicermati lebih jauh.

(3)

Rumusan formal dalam konstitusi ini bersifat terbuka, karenanya perlu dilanjutkan

dengan inventarisasi ketentuan perundang-undangan yang mengatur kegiatan masyarakat

untuk berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran. Jika diperhatikan rumusan

undang-undang dasar yang menyatukan ketentuan tentang "kemerdekaan berkumpul dan

berserikat" dan "mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya", maka

kaidah yang mendasar adalah bagaimana ketentuan tentang "kemerdekaan" itu terutama

dikaitan dengan penjelasan pasal ini, yaitu "membangunkan negara yang bersifat

demokratis".

Selain itu masih perlu diverifikasi, apakah kemerdekaan "mengeluarkan pikiran dan

tulisan dan sebagainya" itu dipertalikan dengan "berserikat dan berkumpul", ataukah

sebagai jaminan bagi masyarakat untuk mengadakan dan menggunakan media komunikasi.

Apakah "berserikat dan berkumpul" itu dimaksudkan untuk upaya bersama sekelompok

orang mengorganisasikan dirinya untuk menyatakan pikiran dan seterusnya itu.

"Berkumpul dan berserikat" dan "menyatakan pikiran" dapat dilihat sebagai

kegiatan yang terpisah, yaitu adanya ketentuan hukum bagi kegiatan "berkumpul dan

berserikat" dan ketentuan lainnya untuk "menyatakan pikiran". Agaknya kerangka

pemikiran semacam ini menjadi dasar dari berbagai undang-undang. Itulah sebab adanya

undang-undang partai politik, organisasi masyarakat, dan kegiatan lainnya warga

3

masyarakat untuk mengadakan forum. Sementara di sisi lain, ada undang-undang yang

mengatur media untuk menyampaikan informasi, mulai dari undang-undang pers, film,

(kelak) media siaran dan segala bentuk lainnya dalam penyampaian dan pengambilan

informasi.

Dari sini terlihat bahwa landasan konstitusional bagi pers pada dasarnya tidak

berdiri sendiri. Tujuan setiap ketentuan yang disebutkan dalam penjelasan UUD 1945

melekat kepada seluruh bangsa: "hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara

yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan

perikemanusiaan". Berbagai institusi lainnya dalam masyarakat juga memerlukan kejelasan

keberadaannya, sejauh mana sudah dijamin oleh undang-undangnya. Berbagai undangundang,

seperti kepartaian, organisasi masyarakat dan lainnya, perlu dilihat dalam kaitan

dengan membangunkan negara bersifat demokratis dan seterusnya itu.

(4)

Keberadaan pers di Indonesia sering dibicarakan secara normatif. Artinya pers

Indonesia harus menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pers Pancasila, sesuai dengan

tuntutan normatif pihak lain. Berkaitan dengan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada

dasarnya bersifat politis, yaitu birokrasi kekuasaan negara yang menggariskan apa yang

boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.

Tuntutan normatif ini terjadi dalam sistem berdasarkan korporatisme negara yang

menjadikan setiap institusi kemasyarakatan tidak memiliki otonomi. Institusi pers,

sebagaimana institusi sosial lainnya seperti asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga

keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan

fungsi imperatif yang berasal dari birokrasi negara.

Dalam negara korporatis, keberhasilan pemerintah dilihat seberapa luas institusi

sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi

kemsyarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institusi ekonomi, terutama dalam era

global sekarang. Institusi ekonomi yang memiliki jari-ngan global pada dasarnya tidak

terikat kepada satu negara, karenanya kekuasaan birokrasi negara tertentu, sulit untuk

mengkooptasinya.

Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi politik dan ekonomi. Sebagai

institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara politis. Untuk

mewujudkan fungsi dan peranannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari

ijin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen.

Sebagai institusi ekonomi, pers dapat menjalankan fungsi dan peranannya

sepenuhnya menggunakan norma ekonomi. Dengan formula industri, yaitu informasi

sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis

dari konsumen. Massa dilihat sebagai konsumen, karenanya keberadaan media bertolak

dari azas komodifikasi pers.

Di antara kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula

institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagaimana institusi budaya lainnya,

seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat,

membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat

moral, sangat berbeda kekuatannya dibanding dengan fungsi imperatif politis dan

ekonomis yang bersifat struktural. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak

memenuhi tuntutan moral, berbeda dengan tekanan imperatif politik (ijin terbit dicabut,

wartawan dikenai haatzaai artikelen), atau tekanan ekonomi (koran tidak laku).

Demikianlah, dalam melihat peranan pers Pancasiladalam pengembangan

demokrasi agaknya lebih tepat menumpukan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang

melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh

4

institusi pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bisa dilihat dari inter-relasi

pers dengan institusi lain, sebab format institusi pers pada dasarnya dibangun oleh faktorfaktor

imperatif dari institusi lain.

(5)

Tuntutan terhadap fungsi pers untuk mengubah dan mendidik masyarakat ini pada

dasarnya bertolak dari asumsi tentang daya pengaruh informasi media. Kepercayaan ini

sekaligus menjadi ancaman bagi media pers, menyebabkan setiap penguasa negara berusaha

mengendalikan media pers. Ini dapat dilihat pada masa lalu di Indonesia, pada awal

abad 20. Setelah redanya penentangan fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawan

(raja-raja di luar Jawa, Pangeran-pangeran di Jawa) dan petani, pemerintah Hindia Belanda

menghadapi penentangan secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh

kalangan pribumi terdidik secara modern di Hindia Belanda.

Karenanya pada abad 20, gerakan penentangan umumnya dilakukan oleh kalangan

intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat

modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial berbeda pula formatnya,

tidak lagi bertumpu kepada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil.

Disini sangat berperan polisi yang menjalankan fungsi intel politik.

Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjalankan

ketentuan-ketentuan hukum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hukum Belanda

sendiri tidak dapat menerimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jenderal untuk

menggunakan hak eksorbitan (exorbitante recht), dan pelarangan terbit koran atau yang

populer disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Kedua kewenangan yang bersifat

preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan

daerah-daerah lain, serta koran-koran yang berhenti terbit.

Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan

yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama pasal-pasal yang biasa disebut haatzaai

artikelen yang disebut sebagai pasal-pasal "karet", karena sangat longgar dalam penginterpretasiannya.

Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian

materiel atas perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan

yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara.

Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus-menerus berhadapan dengan

upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda.

Penerapan hukum ini terhadap penyampaian informasi, dapat dijadikan indikator

sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat

penerapan hukum ini terhadap wartawan/pers khususnya dan intelektual umumnya, dapat

dilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat,

misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda,

masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang.

Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara terhadap wartawan dan

intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual di Indonesia.

Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi

dibandingkan dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayangkan bahwa pers

Pancasila itu semakin menemukan formatnya, yaitu ruang bagi kebebasan dan otonomi

yang lebih pasti dan terjamin bagi masyarakat dalam menyatakan pendapat.

(6)

Institusi pers sebagai wahana bagi masyarakat dalam menyampaikan dan

memperoleh informasi sekarang perlu dilihat sebagai bagian dari hukum penawaran dan

permintaan, bukan sebagai praksis dari suatu ideologi. Sebagai institusi yang berada di dua

5

ranah, ranah ekonomi dan ranah politik, pers harus hadir berlandasrkan hukum-hukum

ekonomi. Sementara dalam ranah politik, bukan dari peran politik yang dapat

dijalankannya, tetapi dalam posisinya menghadapi birokrasi negara.

Kendati menjalankan hukum-hukum ekonomi dalam kehadirannya, kelangsungan

hidupnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh masrakat konsumennya. Keberadaan media

pers di Indonesia pada dasarnya tidak lebih ditentukan hubungan antara birokrasi negara,

melalui lisensi terbit yang dikeluarkan birokrasi negara untuk terbitnya pers. Lisensi ini

dapat bernama ijin usaha atau ijin terbit. Prinsipnya adalah hak masyarakat untuk

menerbitkan pers ditentukan oleh pejabat birokrasi atau tata usaha negara.

Dalam menyikapi kedua macam lisensi ini dapat dilihat perbedaan antara Surat Ijin

Usaha Pnerbitan Pers (SIUPP) dengan Surat Ijin Terbit (SIT). SIT sepenuhnya bersifat

politis, sebagai perangkat pengendalian kekuasaan negara terhadap media pers, melalui

muatan/isi jurnalistik dari suatu media pers. Belum pernah pencabutan SIT diberlakukan

berdasarkan pelanggaran dari muatan iklan komersial (commercial ads), atau pelanggaraan

keperusahaan. Dari sejarahnya dapat disimpulkan bahwa ukuran yang digunakan adalah

penilaian terhadap isi keredaksian berupa karya jurnalistik.

Sedangkan SIUPP bertolak dari ketentuan yang mengatur perusahaan. Ciri

terpenting dalam persyaratan untuk mendapatkan SIUPP dititik-beratkan kepada aspek

perusahaan, termasuk yang paling menentukan adalah permodalan. Tetapi dalam

prakteknya selama diberlakukan ketentuan SIUPP, penilaian terhadap pers tidak terhadap

aspek perusahaan. Belum pernah ada pencabutan/pembatalan SIUPP akibat pelanggaraan

yang bersifat keperusahaan. Pembatalan SIUPP selama ini bertolak dari isi pers berupa

karya jurnalistik. Dengan demikian dalam prakteknya tidak ada perbedaan antara SIT

dengan SIUPP.

Penerapan SIUPP selama ini dapat disebutkan sebagai manipulasi undang-undang.

Di satu sisi undang-undang pers (UU no 21 tahun 1982) menggariskan pengaturan

perusahaan pers, begitu pula Peraturan Menteri Penerangan (no 01/PER/MENPEN/1984).

Pembatalan SIUPP yang dilakukan bertolak dari muatan pers terdapat dalam peraturan

menteri dimaksud, dengan ketentuan yang dapat diinterpretasikan dengan sangat longgar

karena menyebutkan: ...tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang

bebas dan bertanggungjawab (pasal 33 ayat h.). Rumusan semacam ini manakala dijadikan

kriteria delik pers, sangat besar kemungkinan untuk bersifat subyektif dan sewenangwenang.

Suatu delik harus bersifat empiris, dan dapat diuji melalui indikator yang diakui

validitasnya secara luas dan terbuka.

Sampai saat ini perangkat SIUPP dijadikan instrumen bagi aparat kekuasaan negara

di Departemen Penerangan untuk menguasai penerbitan pers swasta. Dalih ini sering

disebut sebagai pembinaan oleh pemerintah terhadap pers. Untuk kita perlu melihat lebih

dulu, bagaimana pemerintah mengidealisasikan fungsi dan peranan pers. Standar ideal dari

fungsi dan peranan pers tentunya tidak berdasarkan ucapan, tetapi dari kenyataan empiris

keberadaan media pers.


readmore »»
 

Followers

About Me

Foto saya
cew klahiran 23 maret 1991 berzodiak aries... orangnya pendiam dgn org2 trtentu... punya banyak keinginan! dan tidak luput dari kekurangan... mempunyai nama Siska..